Tampilnya
Jokowi di panggung politik tanah air tentunya menjadi hal yang selalu
menarik untuk dikaji. Ia bagaikan kupu-kupu yang terbang di atas
hamparan padang tandus. Walau hanya seorang gubernur, Jokowi mampu
menggeser paradigma masyarakat tentang pemimpin politik. Yang dulunya
kelam, kini semakin terang benderang. Dengan tulus membangun Jakarta, ia
mengedukasi masyarakat tentang tafsir hakiki pemimpin ideal. Ia
berhasil menjadi idola baru rakyat Indonesia ditengah beranekaragam
krisis yang melanda. Harapan besar masyarakat seolah-olah ditumpukkan di
atas pundaknya. Walaupun ia tidak pernah menyatakan langsung untuk
menjadi presiden, akan tetapi rakyat Indonesia sangat menantikan sosok
beliau yang menakhodai bangsa ini. Bangsa yang sudah puluhan tahun
kehilangan kompas kemanusiaan.
Bulan
ini, dukungan Jokowi untuk maju pada pilpres 2014 mendatang semakin
kencang. Data dari sebagian besar lembaga survei menunjukkan
elektabilitas Jokowi kian meroket. Posisinya semakin sulit tertandingi,
bahkan basis pendukung Jokowi yang terbentuk secara mandiri kian meluas.
Ia bagaikan pembalap moto GP berkelas 1.500 cc yang sedang memimpin
klasemen.
Keringat Dingin
Dari hasil survei Litbang Kompas,
tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Jokowi menempati
posisi puncak dengan selisih yang terpaut jauh dengan beberapa calon
lainnya. Hal inilah yang membuat keringat dingin beberapa politisi tanah
air mengalir deras. Mereka tengah disibukkan untuk menjegal Jokowi agar
tidak mencalonkan diri. Tak pelak lagi, Jokowi menjadi common enemy
bagi para calon-calon lain. Jika Prabowo Subianto menganggap hasil
survei tersebut adalah pesanan, berbeda halnya dengan Amien Rais yang
menyamakan Jokowi dengan mantan presiden Philipina Joseph Estrada.
Pernyataan tersebut justru menjadi blunder besar bagi Amien Rais, ia
malah mendapat kritikan balik dari para pecinta Jokowi. Pak Amien lupa
bahwa menjadi tokoh politik tidak bisa lepas dari popularitas. Dan
memang faktanya Jokowi populer karena kebaikan, bukan karena pesanan
maupun blow-up yang mengada-ada.
Sosok Mahmoud Ahmadinejad
Bagi
saya, Jokowi lebih tepat jika disandingkan dengan mantan presiden
Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinjead. Sebelum menjadi presiden Iran
dua kali berturut-turut, Ahmadinejad pernah menjadi Walikota Teheran,
ibu kota Iran. Ia menjadi tokoh yang populis karena karakternya yang
kuat. Ia tidak segan-segan menghujat Amerika dan komplotannya dibeberapa
pertemuan berkelas PBB. Seketika, Ia menjadi tokoh fenomenal se-jagad
raya. Di internal negaranya, dia mendengarkan keluh kesah masyarakat
melalui surat yang ditujukan langsung kepada dirinya, kemudian
ditanggapi dengan aksi yang kongkret. Selama menjabat tahun 2005,
Ahmadinejad menerima 9 juta surat dari rakyatnya yang sebagian besar
ditulis oleh rakyat miskin. Dari banyaknya harapan masyarakat tersebut,
Ahmadinejad kemudian membentuk komisi khusus untuk menanganinya.
Ahmadinejad juga dikenal sebagai pemimpin yang tidak suka menggunakan
fasilitas yang diberikan negara. Selama menjabat sebagai walikota, ia
tidak menggunakan pengawalan khusus. Bahkan mobil yang dia gunakan
adalah sedan butut miliknya bermerek Peugeot 504 tahun 1977 tanpa supir
pribadi.
Jokowi dan Ahmadinejad, Miripkah?
Antara
Jokowi dan Ahmadinejad memang memiliki kelas yang berbeda. Jika Jokowi
seorang gubernur, Ahmadiejad adalah seorang mantan kepala negara. Tapi
saya melihat, sosok mereka berdua punya beberapa kesamaan yang
menjadikan mereka populer di negara masing-masing. Saya mencatat
kesamaan antara mereka berdua, yakni:
Anti Korupsi,
Jokowi dan Ahmadinejad adalah dua tokoh yang sama-sama jauh dari
infeksi penyakit korupsi. Diawal pemerintahannya, Jokowi langsung
melakukan pertemuan dengan KPK untuk membahas stategi membrantas korupsi
di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Tentunya ini jauh berbeda dengan
kepala daerah yang lain. Mereka justru menghindari berkunjung ke gedung
KPK. Komisi khusus itu lebih dimaknai sebagai neraka bagi pejabat
negara.
Lain
halnya dengan aksi Ahmadinejad dalam membrantas korupsi di Iran. Selama
ia menjabat, kurang lebih 360 orang yang dihukum mati karena kasus
korupsi. Ahmadinejad memang tidak menyisakan ruang toleransi bagi
pejabat yang korup. Karena korupsi merupakan salah satu penyebab utama
atas kesengsaraan rakyat di Iran.
Sederhana,
Kebijakan seorang pemimpin tentunya sangat dipengaruhi oleh gaya
hidupnya. Rumusnya cukup sederhana, yaitu gaya hidup harus selalu
disesuaikan dengan pendapatan. Jika gaya hidup seorang pejabat parlente,
pastilah dia harus mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Nah, jika
penghasilan rutin pejabat tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhannya,
maka jalan satu-satunya adalah korupsi. Inilah salah satu akar yang
menyebabkan korupsi membudaya di kalangan pejabat. Korupsi adalah
persoalan gaya hidup yang keliru , tidak lebih! Simak saja di beberapa
pejabat yang tersandung kasus korupsi, semuanya menunjukkan gaya hidup
yang super mewah.
Jokowi
dan Ahmadinejad adalah dua berlian yang berkilau di tumpukan kerikil
hitam itu. Mereka menjadi pembeda atas kehidupan glamor para pejabat.
Mereka terbebas dari penjara materialisme yang rendah. Hingga akal sehat
menuntun kita bahwa sebenarnya derajat seseorang tidak diukur dari
harta kekayaan, melainkan dari kesederhanaan. Karena hidup sederhana
adalah kekayaan yang hakiki. Bahkan tercatat, Ahmadinejad adalah salah
satu presiden termiskin di dunia yang pernah ada.
Jika
di Iran Ahmadinejad tinggal dirumah yang tidak memiliki sofa, Jokowi
tetap bahagia menggunakan sepatu robeknya atau memilih makan di warteg
ketimbang di restoran mewah. Mereka berdua pun lebih memilih menggunakan
kemeja putih sebagai simbol kesederhanaan dan kesucian.
Bernyali,
Bagi saya salah satu indikator pemimpin yang bernyali adalah
kemampuannya menolak intervensi asing. Amerika dan sekutunya adalah
preman berkelas super kakap yang memiliki segala cara untuk melumpuhkan
suatu negara. Kasus embargo ekonomi yang dijatuhkan untuk Iran tidak
lain merupakan pil pahit atas penolakan Ahmadinejad terhadap keinginan
Amerika. Ahmadinejad bersikeras bahwa tujuan program nuklir Iran adalah
kedamaian. Segala cara telah dilakukan oleh Amerika dan sekutunya untuk
menghentikan program tersebut, termasuk mengirim kapal induk di teluk
Persia pada bulan juni 2012 lalu. Namun hal tersebut tidak menggoyahkan
nyali seorang Mahmoud Ahmadinejad, beliau tetap tegar dengan
pendiriannya untuk menjadikan Iran sebagai negara yang berdaulat.
Lain
halnya dengan Jokowi, beberapa bulan yang lalu Jokowi menyatakan
membatalkan proyek utang Bank Dunia sebesar Rp.1,2 Triliun untuk proyek Jakarta Emergency Dredging Intiative
(JEDI) yang digagas oleh gubernur Fauzi Bowo. Secara terang-terangan,
Jokowi menegaskan untuk tidak mau diatur-atur oleh Bank Dunia. Ini
membuktikan Jokowi tidak mau diintervensi dari pihak asing yang menyusup
melalui bantuan Bank Dunia maupun IMF.
Cerdas,
Jika anda menganggap Jokowi hanya bermodal ketulusan, saya pikir itu
keliru. Walaupun berlatar belakang pengusaha meubel, Jokowi adalah
pemimpin yang tulus dan sangat cerdas. Di negeri ini, sangat langka kita
jumpai kasus relokasi PKL yang tidak berujung bentrok. Pada beberapa
kasus, melalui media kita disuguhkan tangisan warga yang pilu. Para PKL
digusur dengan mesin raksasa yang menghujam atap penghasilan mereka.
Mengapa demikian? Menurut saya hal ini tidak lepas dari bodohnya
beberapa kepala daerah. Mereka tidak menggunakan akal sehat, melainkan
menggunakan pendekatan hewani dalam menyelesaikan problem kemanusiaan.
Intinya mereka tidak cerdas!
Di
tengah tradisi gusur-menggusur, Jokowi menampilkan gaya baru. Gaya yang
lebih manusiawi. Berbekal pengalaman merelokasi PKL dan pasar di Solo,
Jokowi membuktikan bahwa teorinya bisa dilakukan dimana saja. Termasuk
di DKI Jakarta yang sukses menertibkan PKL Tanah Abang yang berujung
manis bagi para pedagang. Bagi saya, fakta tersebut cukup membuktikan
bahwa Jokowi adalah sosok pemimpin yang cerdas.
Kecerdasan
Ahmadinejad juga menjadi alasan mendasar sehingga terpilih menjadi
presiden Iran. Selama dua periode memimpin Iran, Ahmadinejad menjadi
sorotan panggung politik dunia. Selama menjabat, mantan presiden yang
bergelar Doktor (Ph.D.) ini sering melakukan lawatan ke beberapa
pertemuan di PBB. Tanpa gentar ia melakukan orasi-orasi politiknya di
hadapan para pemimpin dunia.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.